MEP-03


kembali | lanjut

MEP-03MANGURI” berkata Sura Sapi kemudian, “jangan bersikap terlampau keras. Kegagalanku bukan karena kesalahanku dan kawan-kawanku. Kita tidak membicarakan kemungkinan yang ternyata telah terjadi itu, Kita tidak membicarakan, bagaimana masalah upah itu kalau ternyata ada pihak lain yang campur tangan. Menurut pengertianku, kau tidak akan membayar kalau kami gagal menangkap Pamot. Pamot sendiri tanpa orang lain, seperti yang kau katakan, bahwa Pamot selalu seorang diri di gubugnya di malam hari. Tetapi ternyata tidak. Ternyata ada orang lain. Bahkan enam atau tujuh orang. Nah, apa katamu ?“

“Tidak. Aku tetap pada janjiku. Kalau kalian tidak berhasil membawa Pamot kemari, upah itu tidak akan aku bayar”

“Tetapi kami menuntut” suara Sura Sapi pun menjadi semakin keras, “kau jangan menganggap kami seperti anak-anak yang takut kau gertak. Kami sudah bekerja. Kami sudah bertempur, dan kami hampir terjebak karenanya, yang menurut perhitunganku adalah karena kebodohanmu. Nah, sekarang kau masih akan ingkar”

“Tutup mulutmu” bentak Manguri pula, “aku berpegang teguh pada janji. Kalau kalian laki-laki jantan, kalian juga tidak akan melanggar janji”

“Kami tidak melanggar janji. Tetapi kemungkinan yang terjadi itu tidak kita bicarakan sebelumnya. Karena itu, karena kami sudah melakukan tugas kami, dan kami memang sudah benar-benar melakukan perkelahian sepenuh tenaga kami, maka kau harus mengerti. Kami tidak saja memeras tenaga untuk mencoba menangkap Pamot seperti yang seharusnya kami lakukan, tetapi kami harus juga mempertaruhkan nama kami”

 “Aku tidak peduli” jawab Manguri, “aku hanya mau membayar upah itu atas penyerahan Pamot. Selain itu, aku tidak mau tahu”

“Manguri“ Sura Sapi mulai membentak, “kau jangan menutup mata atas kenyataan itu. Apakah kau sengaja menjerumuskan kami dengan janji itu?“

Wajah Manguri pun menjadi merah. Tetapi sebelum ia berbicara, ayahnya telah menengahinya, “Sudahlah, jangan bertengkar lagi. Setelah aku mendengar perdebatan kalian, maka aku ingin mengusulkan jalan tengah yang barangkali dapat ditempuh. Kita memang tidak dapat bersitegang atas janji yang sudah dibuat. Kenyataan yang pahit bagi kita di kedua belah pihak, memerlukan pengertian yang cukup“ Ki Sukerta berhenti sejenak, lalu, “aku berpendapat, bahwa sebaiknya kita masing-masing harus mau mengorbankan nilai perjanjian itu. Bagaimana kalau Manguri membayar separo dari upah yang dijanjikan?“

Keduanya terdiam sejenak. Namun kemudian Sura Sapi menggelengkan kepalanya, “Tidak. Harga tenaga kami tidak separo-separo. Sepenuhnya itupun sebenarnya kami merasa berkeberatan karena ternyata kami telah terjebak. Jangan menawar-nawar lagi”

“Bukan menawar, bukan pula merendahkan harga kalian” jawab ayah Manguri, “tetapi kami dan kalian masing-masing telah mengalami hal-hal yang tidak kita duga-duga sebelumnya ”

“Harga tenaga kami bukan semacam ketela pohung yang dapat ditawar-tawar“ ternyata Temon yang selama ini menahan nafas, tidak lagi dapat mengendalikan diri, “kami minta sepenuhnya dan ditambah lagi dengan harga kecuranganmu”

Ki Sukerta mengerutkan keningnya, Ditatapnya wajah Temon yang samar-samar di dalam kegelapan. Tetapi wajah itu tidak dapat dilihatnya dengan jelas.

“Jangan mencoba menawar lagi” katanya, “aku benar-benar tidak telaten berbicara seperti sedang berjual beli dagangan”

Ki Sukerta tidak segera menjawab. Ia merasa tidak senang mendengar jawaban yang terlampau kasar itu. Tetapi ia masih berdiam diri.

Yang tidak dapat mengendalikan dirinya adalah Manguri. Tiba-tiba saja ia berkata lantang, “kalau kalian tidak mau, kami tidak akan membayar sama sekali”

“Kami akan mengambil sendiri” teriak Temon. Suasana menjadi semakin lama semakin tegang.

Ayah Manguri masih tampak berpikir. Namun agaknya ia tidak mau bertengkar lebih jauh lagi. Ia masih mempunyai terlampau banyak urusan dengan ternaknya yang tersebar di beberapa tempat. Karena itu, apabila ia terpancang dan terlibat dalam persoalan Sura Sapi, urusannya pasti akan terganggu pula.

Karena itu, setelah berpikir sejenak ia berkata kepada Manguri, “Manguri, biarlah kita penuhi saja permintaan itu. Bagi kita, uang itu tidak terlampau banyak artinya. Tetapi dengan demikian kita sudah tidak mempunyai persoalan lagi dengan mereka”

Manguri mengerutkan keningnya, “Tetapi, dengan demikian kita secara tidak langsung mengakui bahwa kita telah bertindak salah”

“Tentu tidak. Kita membayar upah yang sudah dijanjikan. Itu saja. Tanpa pengertian lain”

Manguri tidak menyahut. Sejenak ia merenung. Namun sejenak kemudian kepalanya terangguk kecil.

“Begitulah” berkata ayah Manguri kepada Sura Sapi, “kami memang tidak ingin bertengkar. Kami akan memenuhi permintaan kalian. Upah yang sudah dijanjikan itu akan dibayar oleh Manguri”

Sura Sapi mengerutkan keningnya. Sedang Temon beringsut setapak maju. Perlahan-lahan ia menggamit adiknya sebagai suatu isyarat.

Tetapi Sura Sapi tidak segera mengerti maksud kakaknya, sehingga karena itu ia masih tetap berdiam diri.

Namun di setiap kepala keenam orang itu terasa getar kemenangan yang melonjak-lonjak. Mereka melihat seolah-olah Ki Sukerta dan Manguri sama sekali tidak berdaya menolak tuntutan mereka. Ternyata tanpa kesulitan apapun mereka bersedia memenuhi tuntutan yang mereka ajukan.

“Kenapa kami tidak menuntut lebih dari itu“ hampir bersamaan timbul pertanyaan itu di dalam hati mereka.

Agaknya Temon lah yang paling tidak dapat mengekang dirinya. Perlahan-lahan ia berbisik, “Hanya itu? Perkelahian yang terjadi dengan tujuh orang itu sama sekali tidak kau hitung?“

Tetapi suara bisik itu terlampau keras sehingga Manguri masih mendengarnya.

“Apalagi yang akan kalian minta?“ anak muda itu tiba-tiba membentak.

Sura Sapi menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan kakaknya memang telah ada di dalam otaknya. Tetapi ia tidak segera mengucapkannya, karena ia ragu-ragu, apakah di dalam halaman itu tidak ada orang-orang yang benar-benar harus dipertimbang-kan.

“Bagaimana?“ Temon semakin tidak sabar.

“Aku kira pembicaraan kita sudah selesai” berkata ayah Manguri, “Tidak ada lagi persoalan-persoalan baru”

“Tentu ada” jawab Temon, “upah itu adalah hak yang harus kami terima. Tetapi ganti tenaga yang sudah kami curahkan di dalam perkelahian itu harus diperhitungkan.

“Persetan” sahut Manguri, “itu bukan urusan kami. Seandainya ada diantara kalian yang mati sekalipun kami sama sekali tidak peduli. Itu adalah tanggung jawab yang kalian. Apalagi setelah kami membayar upah kalian”

Tiba-tiba terdengar suara Temon tertawa, “He, kalian anggap kami ini anak-anak ingusan. Manguri, kau jangan mencari perkara. Aku kira ayahmu juga tidak senang terjadi keributan di halaman rumah ini. Bagi ayahmu dan bagimu, agaknya lebih baik kalau kami mengajukan permintaan itu daripada kami harus mengambil sendiri. Dengan memenuhi permintaan kami itu masalahnya akan segera selesai. Ayahmu yang mempunyai seribu macam persoalan itu tidak akan terganggu lagi oleh masalah-masalah yang tidak berarti apa-apa.

Aku yakin bahwa kalian menyimpan uang sepuluh atau dua puluh kali lipat dari yang akan kami minta”

“Tidak“ Manguri hampir berteriak, “kami tidak akan memberi apa-apa lagi”

“Jangan begitu“ Sura Sapi lah yang berbicara, “sebaiknya kalian mempertimbangkan. Ki Sukerta agaknya mampu berpikir lebih baik dari Manguri. Darah muda Manguri yang masih meluap-luap itu kadang-kadang dapat mencelakakannya. Bukankah begitu Ki Sukerta?“

Kini Ki Sukerta menyadari keadaannya. Sikapnya yang lunak itu ternyata telah disalah artikan. Orang-orang itu menganggap bahwa ia menjadi ketakutan dan tidak berani menolak tuntutan mereka. Ternyata tuntutan gerombolan Sura Sapi itu semakin lama menjadi semakin berkembang.

Karena itu, kini Ki Sukerta pun harus mengambil sikap Kalau ia mau mundur ia harus bersedia menyerahkan isi rumahnya kepada gerombolan Sura Sapi itu. Tetapi kalau tidak, ia harus bersikap tegas.

“Bagaimana Ki Sukerta?” bertanya Sura Sapi, “Aku kira lebih baik bagimu untuk memenuhi permintaan kami yang tidak berarti itu. Besok kau akan segera mendapatkan gantinya. Lima, sepuluh atau duapuluh kali lipat. Kami tidak akan mengganggu kalian lagi”

Tetapi Sura Sapi, Temon dan kawan-kawannya terkejut ketika ia kemudian mendengar suara Ki Sukerta yang berubah, “Tidak. Kami tidak akan memberikan apa-apa kepada kalian. Yang sudah aku janjikan, memenuhi upah yang sudah di sanggupkan Manguri itupun aku cabut. Ternyata kalian menyalah artikan kelunakan sikapku. Kalian sangka bahwa kalian akan dapat memeras kami?“

Wajah Sura Sapi menjadi merah padam. Apalagi Temon yang darahnya lebih cepat mendidih. Sejengkal ia beringsut sambil berkata, “Ki Sukerta, apakah kau menyadari kata-katamu itu?“

“Tentu. Aku menyadarinya. Aku sadar bahwa apabila kalian berani, kalian akan mengambil cara yang biasa kalian pergunakan. Kekerasan”

“Nah, kau mengerti. Aku minta kau pertimbangkan sekali lagi. Dengan siapa kau berhadapan?“

“Aku tahu, aku berhadapan dengan Sura Sapi. Tetapi kalian pun harus tahu, siapa Ki Sukerta”

Wajah Sura Sapi menjadi merah padam. Demikian juga Temon dan kawan-kawannya. Mereka merasa tersinggung oleh sikap Ki Sukerta, yang seolah-olah langsung menantangnya. Namun demikian mereka pun tidak dapat menghindari kenyataan, bahwa Ki Sukerta memang tidak dapat diabaikan. Ki Sukerta yang sudah terlampau sering melakukan perjalanan tidak saja di daerah Mataram, tetapi juga sampai ke wilayahnya yang tersebar itu, pasti mempunyai kemampuan yang cukup untuk membela dirinya.

Meskipun demikian Sura Sapi memang sudah memperhitung-kan hal itu. Karena itu, maka dengan suara yang bergetar Sura Sapi berkata, “Ki Sukerta. Jadi Ki Sukerta ingin membuat persoalan yang kecil ini menjadi perselisihan yang mungkin akan menimbulkan benturan diantara kita?“

“Tidak. Aku tidak ingin”

Sura Sapi mengerutkan keningnya, “Jadi kenapa Ki Sukerta seakan-akan telah menantang kami?“

“Siapa yang menantang?“

Sura Sapi terdiam sejenak. Tetapi sebelum ia berkata selanjutnya, Temon telah mendahuluinya, “Kau memang terlampau banyak bicara. Berikan upah itu dan sekedar pengganti keringat kami yang telah terlanjur menitik. Lima kali dari upah yang sudah ditentukan. Kalau tidak, kami akan mengambil seratus kali lebih banyak dari itu”

“Tidak”

“Nah, kalau begitu kau benar-benar ingin kekerasan”

“Aku tidak ingin. Tetapi aku juga tidak mau memberi apa-apa kepada kalian. Kalau kalian sedikit mempunyai otak, bertanyalah kepada diri sendiri. Siapakah yang menginginkan keributan. Kalau kau mengajukan permintaan yang tidak masuk akal, dan aku tidak mau memenuhinya, apakah sudah wajar, bahwa akulah yang menginginkan keributan? Kalau kau mau merampok kami dan kami mempertahankan hak kami, kami kah yang membuat keonaran?“

“Persetan” geram Sura Sapi, “berikan yang kami minta”

“Tidak. Aku tidak akan memberikan apapun”

“Huh, apakah kalian akan melawan Sura Sapi? Aku kira kau pun sudah dipencilkan dari pergaulan padukuhan ini. Aku kita tidak akan ada peronda yang datang membantumu seandainya kalian sempat memukul tanda bahaya”

“Aku tidak memerlukan orang lain. Aku sudah cukup matang untuk bertindak sendiri. Sadari ini, Di perjalanan, di hutan-hutan dan di ara-ara yang panjang, aku tidak memerlukan bantuan orang lain apabila ada penyamun-penyamun yang mencegat perjalananku”

“Setan alas“ Sura Sapi hampir berteriak, “aku memang harus membunuh seisi rumah ini. Tidak seorang pun yang akan menyangka bahwa kami yang melakukan. Biarlah besok Pamot ditangkap oleh Jaga-baya Kepandak. Tuduhan pertama pasti jatuh kepadanya dan keluarganya termasuk anak-anak muda yang dipersiapkan melawan kami itu”

“Aku tidak akan menghiraukan apa yang akan dikatakan orang. Tetapi seandainya kamilah yang berhasil membunuh kalian berenam dan melemparkan ke pojok desa, tidak seorang pun yang akan menyangka, bahwa kamilah yang telah menumpas gerombolan Sura Sapi yang terkenal itu. Ki Jagabaya pasti akan menyangka bahwa kalian telah dibunuh beramai-ramai oleh orang-orang Gemulung. Namun seandainya ada orang yang melihat bahwa kamilah yang telah membunuh kalian, maka mereka akan berterima kasih kepada kami.

“Gila kau” teriak Sura Sapi, “aku memang harus membunuh kalian dan mengambil semua milik kalian. Aku tidak peduli lagi, apakah itu merupakan upah kalian atau bukan”

“Langkahi mayat kami” geram ayah Manguri.

Temon lah yang tidak dapat menahan hatinya. Tiba-tiba ia meloncat berdiri sambil menarik senjatanya, sebuah golok yang besar meskipun tidak begitu panjang.

“Aku dapat memotong paha kerbau dengan sekali gores” desisnya, “bagaimana dengan leher kalian?“

“Aku tidak sedungu kerbau“ Manguri pun sudah meloncat berdiri pula dengan senjata di tangan.

Maka berloncatanlah orang-orang yang berada di pendapa itu. Tiba-tiba saja mereka sudah menggenggam senjata masing-masing.

“Kalian memang terlampau bodoh” geram Sura Sapi, lalu, “kalian lebih mencintai harta kalian daripada nyawa Kau masih akan dapat mencari harta dengan mudah, tetapi kau tidak akan dapat membeli nyawa dimanapun dengan kekayaan yang betapapun banyaknya”

Ki Sukerta tidak menjawab. Tetapi dengan garangnya ia berdiri tegak di atas kakinya yang renggang. Sambil menyilangkan pedangnya di dada ia merendah sedikit pada lututnya.

Gerombolan Sura Sapi itu mulai bergerak memencar untuk mengepung Ki Sukerta dan Manguri yang kini berdiri berlawanan arah. Namun Manguri masih mencoba menebarkan pandangan matanya, mencari di mana Lamat bersembunyi.

Dalam keadaan yang tegang itulah, maka muncul seseorang yang bertubuh raksasa dari balik dedaunan.

Dengan tenangnya ia berjalan naik keatas pendapa sambil menjinjing tombaknya. Sejenak ia berdiri di bibir pendapa itu sambil melihat suasana yang sudah mencapai puncak ketegangannya.

Ternyata kehadirannya telah mendebarkan jantung Sura Sapi dan kawan-kawannya. Tetapi mereka memang sudah memperhitungkan, bahwa di halaman rumah itu ada seseorang raksasa yang dungu. Namun menurut Manguri sendiri, raksasa itu sama sekali tidak berhasil menangkap Pamot, sehingga dengan demikian, maka raksasa itu adalah raksasa yang jinak.

“Ikat raksasa itu“ perintah Sura Sapi kepada orang-orangnya, “biarlah aku dan kakang Temon menangkap pedagang yang sombong ini beserta anaknya ”

Beberapa orang saling berpandangan. Namun kemudian tiga dari anak buah Sura Sapi memisahkan diri menyongsong Lamat yang melangkah semakin dekat.

Lamat masih tetap melangkah dengan tenang. Namun kemudian ia berhenti ketika ia melihat tiga orang menyongsongnya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia meraba-raba tangkai tombaknya yang kasar.

Sejenak ia melihat tiga orang yang lain berhadapan dengan Ki Sukerta dan anaknya Manguri.

Sebelum mereka mulai menggerakkan senjata-senjata mereka, tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar langkah seseorang berlari-lari. Serentak mereka berpaling, dan mereka pun melihat seseorang dengan tergesa-gesa meloncat naik ke pendapa. Sejenak ia berdiri mematung sambil menggosok-gosok matanya. Agaknya ia terkejut dari tidurnya dan dengan tergesa-gesa berlari keluar. Orang itu adalah pengawal yang tidur di kandang ternak.

“Apa yang telah terjadi ?“ desisnya.

“Hati-hatilah” sahut Lamat.

Orang itu maju selangkah mendekati Lamat.

“Lindungilah Manguri“ bisik Lamat lirih.

Orang itu kini menyadari apa yang sedang dihadapinya.

Karena itu maka iapun segera menarik pedangnya. Perlahan-lahan ia maju mendekati Manguri yang berdiri di belakang ayahnya beradu punggung. Lamat menyadari bahwa untuk melawan tiga orang sekaligus adalah pekerjaan yang sangat berat baginya. Dan tiga orang ini adalah gerombolan Sura Sapi. Tetapi Sura Sapi sendiri agaknya berusaha untuk dapat berhadapan langsung dengan Ki Sukerta.

“Aku harus bertahan. Hanya bertahan dan mengikat ketiganya dalam perkelahian supaya salah seorang dari mereka tidak dapat meninggalkan arena dan membantu Sura Sapi menghadapi Ki Sukerta” berkata Lamat di dalam hatinya.

Demikianlah, maka di pendapa itu terjadi dua lingkaran yang akan menjadi arena perkelahian. Lamat yang menghadapi tiga orang gerombolan Sura Sapi dan di lingkaran yang lain, tiga orang berhadapan dengan tiga orang pula.

Tetapi dua diantara yang tiga itu adalah Sura Sapi sendiri dan kakaknya Temon yang selama ini tinggal di kaki Gunung Kendeng.

“Apakah ini keputusanmu Ki Sukerta?”

”Sura Sapi masih bertanya.

“Ya” jawab Ki Sukerta Apalagi kini di pendapa itu telah hadir Lamat dan seorang pengawal upahannya.

“Bagus” desis Temon, “aku tidak akan pernah melupakan sambutan yang hangat ini sampai aku kembali ke Gunung Kendeng”

Ki Sukerta tidak menjawab. Tetapi ia bersiaga sepenuhnya. Untunglah bahwa pengawal ternaknya itu berada di sampingnya. Ia akan dapat membantu melindungi Manguri apabila ia segera terdesak.

Sejenak kemudian Sura Sapi melangkah maju. Ia bergeser beberapa langkah ke samping, kemudian tiba-tiba saja ia meloncat menyerang Ki Sukerta dengan garangnya.

Tetapi Ki Sukerta benar-benar telah bersiap menghadapi serangan itu. Dengan tangkasnya ia mengelak, dan bahkan pedangnya pun segera terjulur lurus mengarah ke lambung Sura Sapi.

Sura Sapi menggeliat untuk menghindari ujung pedang itu, dengan selingkar gerakan yang cepat, ia menyerang mendatar. Ki Sukerta yang gagal menyentuh lambung lawan terpaksa meloncat ke samping. ketika senjata lawannya menyambarnya.

Karena Sura Sapi sudah mulai, maka yang lain pun segera berloncatan pula. Temon segera menyerang Manguri, tetapi pengawal ternak yang ada di sampingnya segera menempatkan dirinya untuk melawan. Sedang orang yang lain lagi, mau tidak mau harus berhadapan dengan Manguri.

Di lingkaran perkelahian yang lain, ketiga orang gerombolan Sura Sapi itupun segera menyerang Lamat hampir berbareng. Tetapi Lamat yang meskipun tenang-tenang saja itu, mampu menghindari mereka dengan cepat. Selangkah ia mundur, kemudian melingkar sebuah tiang pendapa sambil mengangkat tombaknya.

Ketika sebuah ujung pedang terjulur ke dadanya, maka tangkai tombaknya langsung memukul punggung pedang itu Demikian kerasnya sehingga hampir saja pedang itu meloncat dari tangan.

Orang yang hampir kehilangan pedang itu berdesis. Meskipun ia baru mulai, tetapi segera ia mendapat gambaran kekuatan Lamat yang memang luar biasa itu. Ayunan tangkai tombak yang tampaknya belum dilambari dengan sekuat tenaga itu saja, sudah cukup menggetarkan jari-jarinya.

Tetapi orang itu sama sekali tidak mengeluh, dan bahkan sama sekali berusaha untuk tidak menumbuhkan kesan, bahwa kekuatan Lamat memang luar biasa. Ia tidak mau menumbuhkan kecemasan dan kebimbangan di hati kawan-kawannya.

Demikianlah muka perkelahian di atas pendapa itupun segera menjadi semakin seru. Lamat yang harus melawan tiga orang, selalu berusaha untuk menghindari serangan-serangan yang datang dari berbagai jurusan. Tiang-tiang di pendapa rumah itu agaknya dapat membantunya. Setiap kali ia berperisai tiang-tiang pendapa, kemudian meloncat maju sambil menjulurkan ujung tombaknya yang tidak begitu tajam itu.

Sedang Sura Sapi sendiri berkelahi mati-matian untuk segera dapat menundukkan Ki Sukerta. Tetapi ternyata seperti katanya sendiri, Ki Sukerta yang selalu menjelajahi daerah yang luas itu benar-benar seorang yang memang mempunyai bekal untuk melakukan pekerjaannya yang berat. Ternyata ia sama sekali tidak dapat segera dikuasai oleh Sura Sapi.

Bahkan Ki Sukerta masih mendapat kesempatan untuk sekali-sekali melihat anaknya yang dengan susah payah mempertahankan dirinya.

Tetapi Ki Sukerta masih belum mencemaskan Manguri, karena Manguri agaknya masih mampu bertahan. Seperti Lamat, Manguri dapat memanfaatkan tiang-tiang pendapa untuk memperpanjang perlawanannya. Sehingga Ki Sukerta masih dapat memusatkan perlawanannya atas Sura Sapi sendiri.

Temon tidak terlampau banyak mempunyai kelebihan dari pengawal ternak Ki Sukerta, meskipun segera tampak, bahwa ia akan berhasil memenangkan perkelahian itu pada suatu saat apabila mereka dibiarkannya berkelahi seorang lawan seorang.

Sementara itu Lamat berusaha untuk tetap mengikat ketiga lawannya. Ia melihat bahwa hanya Ki Sukerta sajalah yang agaknya akan mampu mengimbangi lawannya untuk waktu yang lama.

Tetapi melawan tiga orang gerombolan Sura Sapi, merupakan pekerjaan yang berat pula bagi Lamat. Ia masih tetap sadar bahwa sebaiknya ia tidak melakukan pembunuhan.

Karena itu maka Lamat tidak mempergunakan seluruh kekuatannya di dalam perlawanannya. Meskipun sekali-sekali ia menyerang, namun sebagian terbesar yang dilakukannya adalah menghindar dan menangkis. Apalagi kelincahan lawan-lawannya kadang-kadang memang agak membingungkannya, sehingga setiap kali ia selalu meloncat mengambil jarak dari ketiga lawan-lawannya.

Namun lambat laun Lamat tidak dapat berkelahi dengan caranya. Ketika ujung pedang salah seorang gerombolan Sura Sapi itu menyentuh kulit lengannya, sehingga darahnya menitik, sadarlah ia bahwa ia tidak sedang bermain-main. Ki Sukerta, Manguri dan pengawal yang seorang itu pun sedang terancam bahaya kematian apabila keadaannya tidak segera berubah.

Karena itu, Lamat yang kemudian dilanda oleh kebimbangan dan keragu-raguan itu terpaksa mencari jalan untuk mengatasi perkelahian itu.

“Akan lebih baik kalau aku berkelahi di dalam kelompok itu pula” desisnya di dalam hati, “setidak-tidaknya aku dapat mengawasi dan mencoba mengurangi tekanan atas Manguri”

Dengan demikian maka Lamat pun berusaha dengan susah payah untuk mendekati lingkaran perkelahian yang lain. Ketika serangan-serangan lawannya membuatnya semakin bingung, maka tiba-tiba ia menggeram. Diayunkannya tangkai tombaknya dengan sekuat tenaganya menyerang salah seorang daripadanya, supaya lawan-lawannya berloncatan surut, untuk memberinya kesempatan mengatur diri.

Tetapi agaknya ada diantara mereka yang tidak sempat berusaha untuk menghindar. Dengan senjatanya ia mencoba menangkis ayunan tangkai tombak Lamat yang dibuatnya dari kayu berlian itu.

Terjadilah sebuah benturan yang dahsyat. Sesaat mereka mendengar keluhan tertahan, kemudian mereka mendengar gemerincing pedang yang terjatuh di lantai.

Orang itu tidak berhasil mempertahankan senjatanya. Tenaga Lamat ternyata terlampau kuat, meskipun lawannya itu salah seorang dari gerombolan Sura Sapi yang terkenal. Bahkan tangkai tombak Lamat masih juga menyentuh pahanya, sehingga iapun terpelanting jatuh.

Dengan susah payah orang itu meloncat berdiri. Tetapi kemudian ternyata bahwa ia menjadi timpang karenanya. Rasa-rasanya tulang pahanya menjadi retak.

Kedua kawannya yang lain segera mencoba melindunginya. Keduanya menyerang hampir bersamaan, sehingga Lamat terdesak surut beberapa langkah.

Kesempatan itu dipergunakan oleh salah seorang gerombolan yang kehilangan senjatanya itu. Tertatih-tatih ia berloncatan memungut senjatanya. Kemudian dengan kaki timpang ia kembali memasuki arena perkelahian.

Lingkaran perkelahian Lamat pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan arena perkelahian Manguri, ayahnya dan pengawal yang seorang itu. Namun agaknya lawan-lawannya pun berusaha untuk menahannya dan mendorongnya semakin jauh.

Lamat masih saja berkelahi dengan tenangnya. Ia masih berusaha untuk tidak melakukan pembunuhan. Namun setiap kali tumbuh pertanyaan, “Bagaimana kalau justru Manguri sendiri yang terbunuh? Betapapun bengalnya anak itu, tetapi ia masih agak lebih baik dari gerombolan Sura Sapi.

Dalam pada itu, isteri Ki Sukerta yang mendengar hiruk pikuk di pendapa, mencoba untuk mengintipnya. Meskipun dalam kegelapan, namun ia dapat melihat bayangan yang samar-samar berloncatan kian kemari. Nafas yang berdesah dan dentang senjata beradu. Dengan demikian segera ia mengetahui, bahwa di pendapa rumahnya agaknya telah terjadi perkelahian yang dahsyat.

Nyai Sukerta itupun kemudian berlari-lari ke bagian belakang rumahnya. Didorongnya saja pintu bilik Lamat. Tetapi ia sudah tidak melihat orang itu di dalam biliknya.

“Agaknya ia sudah ikut berkelahi” desisnya. Dengan demikian maka iapun kemudian berlari ke gubug-gubug di samping lumbung. Dibangunkannya para pekatik, para gembala dan juru sapu.

“Cepat, pergi ke pendapa. Mereka sedang berkelahi”

“Siapa?” bertanya salah seorang pekatik kuda.

“Aku tidak tahu”

Orang-orang itu menjadi bingung. Mereka tidak mengerti bagaimana mereka harus membantu. Hampir sepanjang umurnya mereka tidak pernah berkelahi.

Tetapi ada juga dua orang yang segera berlari ke dalam biliknya untuk mengambil parang dan kapak. Dengan tergesa-gesa keduanya pergi melingkari rumah ke pendapa, di bagian depan dari rumah Ki Sukerta.

Ketika mereka sampai ke tangga pendapa mereka melihat bahwa perkelahian yang seru masih berlangsung di pendapa.

Ternyata Manguri menemui banyak kesulitan di dalam perkelahian itu. Anggauta gerombolan Sura Sapi yang berkelahi melawannya, agaknya benar-benar akan berusaha menyelesaikan pekerjaannya tanpa tanggung-tanggung.

Meskipun kedua orang pembantu Manguri itu bukan orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang cukup di dalam olah senjata, tetapi agaknya mereka mampu melihat, bahwa Manguri sudah hampir tidak mampu lagi untuk bertahan.

Dengan demikian, maka keduanya pun segera mendekatinya dan mencoba untuk membantunya.

Namun ternyata bahwa kedua orang itu tidak terlampau banyak berpengaruh. Meskipun demikian, mereka telah dapat memecah perhatian lawan Manguri, sehingga Manguri mempunyai sedikit kesempatan memperbaiki keadaannya.

Ayahnya, Ki Sukerta yang melihat keadaan anaknya, menjadi sangat cemas. Itulah sebabnya, maka ia telah mengerahkan segenap kemampuan dan ilmunya. Seluruh tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya telah dibangunkannya, untuk mempercepat penyelesaian.

Ternyata bahwa Ki Sukerta tidak sekedar menyebut dirinya sebagai seorang pedagang keliling dan bahkan seorang petualang hampir di segala bidang kehidupan. Telah dijelajahinya sudut-sudut yang paling berbahaya di dalam usahanya mencari kekayaan dan mengejar perempuan yang disukainya. Dengan demikian, maka menghadapi Sura Sapi itu sendiri Ki Sukerta akhirnya berhasil sedikit demi sedikit menguasainya.

“Aku harus lebih dahulu, sebelum Manguri kehabisan napas” katanya di dalam hati. Bagaimanapun juga Manguri adalah satu-satunya anak dari isterinya yang paling tua, isterinya yang sah.

Sura Sapi menahan nafasnya untuk sejenak, ketika hampir saja pundaknya tergores pedang lawannya. Meskipun ia telah memperhitungkan, bahwa Ki Sukerta bukannya sekedar seorang pedagang yang mempercayakan keselamatannya kepada para pengawalnya saja, namun ia sama sekali tidak menyangka bahwa Ki Sukerta itu mampu mengimbanginya, bahkan semakin lama semakin terasa betapa beratnya menghadapi pedagang ternak itu.

“Setan alas“ Sura Sapi menggerutu. Sesaat terbayang kegagalan mereka di tengah-tengah sawah sawaktu mereka menghadapi Pamot dan kawan-kawannya Apakah kegagalan ini harus terulang?”

“Sura Sapi tidak pernah gagal” desisnya. Tetapi bagaimanapun juga, ternyata kemampuan Ki Sukerta tidak dapat diingkarinya.

Meskipun Temon sedikit demi sedikit dapat mendesak lawannya, tetapi untuk mengalahkannya agaknya ia masih memerlukan waktu yang cukup lama, sedang Sura Sapi semakin lama sudah menjadi semakin lemah.

“Sura Sapi tidak pernah gagal” terdengar Sura Sapi itu menggeram.

Di lingkaran perkelahian yang lain, yang semakin lama menjadi semakin dekat, Lamat masih tetap bertahan. Meskipun ia tidak segera tampak menguasai keadaan, tetapi agaknya keadaannya sama sekali tidak mencemaskan.

Demikianlah maka perkelahian itu menjadi semakin lama semakin ribut. Desak mendesak tidak berketentuan. Yang seorang dapat mendorong lawannya, sedang yang lain hampir-hampir dapat dikuasai.

Namun agaknya Sura Sapi sendiri berada di dalam kesulitan. Setiap kali ia terdesak mundur. Setiap kali ia menggeram karena ujung senjata Ki Sukerta menyentuh pakaiannya. Dan bahkan ketika punggungnya terantuk tiang pendapa, sebuah goresan telah menyobek lengannya.

Terdengar Sura Sapi itu mengaduh tertahan. Kemudian mengumpat sejadi-jadinya. Goresan itu ternyata telah menitikkan darahnya, sehingga perasaan pedih seolah-olah menyengat di segenap lekuk tangannya. Untunglah bahwa Sura Sapi mampu mempergunakan kedua tangannya dengan kekuatan seimbang, sehingga karena tangan kanannya terluka, maka senjata pun segera dipindahkannya ke tangan kiri” Namun demikian titik-titik darah itu telah membuatnya menjadi cemas, bahwa pada suatu saat ia akan menjadi semakin lemah.

Belum lagi gema desah Sura Sapi itu lenyap, maka seorang yang melawan Lamat ternyata telah terpukul oleh tangkai tombak Lamat, yang terbuat dari kayu berlian. Orang itu terpelanting membentur sebuah tiang pendapa. Untunglah, bahwa ia masih dapat melindungi kepalanya, sehingga dengan susah payah ia masih dapat segera bangkit.

Namun demikian, di bagian lain terdengar seseorang menjerit ngeri. Agaknya salah seorang dari kedua orang yang membantu Manguri tertusuk senjata lawannya di pahanya Tertatih-tatih ia berlari menepi, kemudian tanpa dapat mempertahankan keseimbangannya lagi ia terjatuh sambil mengaduh.

Meskipun demikian, Sura Sapi sendiri agaknya tidak akan mampu mengalahkan Ki Sukerta yang tampaknya semakin lama menjadi semakin garang. Kali ini ia berkelahi sepenuh tenaganya untuk menyelamatkan anaknya, harta bendanya dan namanya.

Dalam keadaan yang kalut demikian itulah, akhirnya Sura Sapi tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya.

Lukanya menjadi kian pedih, sedang lawannya masih juga nampak segar. Raksasa yang dianggapnya dungu itu ternyata tidak segera dapat dikalahkan oleh ketiga orang-orangnya.

Temon yang diharapkannya akan dapat membantunya, ternyata terikat oleh perkelahian yang masih memerlukan waktu yang lama.

Apalagi ketika kemudian beberapa orang meskipun dengan ragu-ragu, berdatangan mengerumuni pendapa. Orang-orang itu adalah pekatik-pekatik, pelayan-pelayan dan tenaga-tenaga kasar di rumah itu. Di tangan masing-masing tergenggam berbagai macam senjata. Linggis, kapak, parang, bahkan kayu selumbat kelapa dan pemukul kentongan.

Meskipun mereka tidak akan dapat banyak berbuat, namun kehadiran mereka benar-benar telah mempengaruhi niat Sura Sapi untuk memaksakan kehendaknya.

Demikianlah, maka sekali lagi Sura Sapi merasa, bahwa ia akan gagal. Gagal seluruhnya seperti pada saat gerombolannya akan menangkap Pamot. Itulah sebabnya maka ia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali seperti pada kegagalan yang dahulu, meninggalkan arena.

Sejenak kemudian maka terdengar Sura Sapi memberikan aba-aba itu. Aba-aba yang pernah diberikannya juga dalam perkelahiannya melawan anak-anak Gemulung.

Kawan-kawannya tidak menunggu keadaan berkembang semakin buruk. Dengan serta-merta mereka pun segera berloncatan menjauh. Kemudian berlari secepat-cepat dapat mereka lakukan, turun dari pendapa, melintasi halaman samping dan menghilang di kebun belakang untuk seterusnya berlari lintang pukang meloncati dinding batu di belakang.

Tetapi mereka tidak berhenti sampai di balik dinding batu. Mereka masih berlari terus masuk ke dalam rerungkudan.

Demikian cemasnya, mereka hampir tidak sempat berpaling. Bahkan di dalam gelap malam, tiba-tiba saja kaki Temon terantuk sesosok tubuh yang sedang berjongkok, sehingga keduanya terpelanting dan jatuh berguling-guling.

“Setan alas, dimana matamu he” bentak orang yang berjongkok itu, yang tidak lain adalah Sura Sapi.

“Siapa kau?” bertanya Temon.

“O” suara Sura Sapi merendah, “kaukah itu kakang?

“Ya aku. Kenapa kau berjongkok disitu?”

Nafas Sura Sapi menjadi semakin terengah-engah, “Tanganku dan pundakku terasa pedih sekali”

“Kau terluka?”

“Ya. Di lengan dan di beberapa tempat lagi meskipun hanya goresan-goresan kecil”

Temon merangkak mendekati adiknya. Katanya kemudian, “Marilah kita menjauhi tempat terkutuk itu dahulu”

Sura Sapi pun kemudian berdiri perlahan-lahan. Dengan hati-hati ia memandang berkeliling.

“Tidak ada orang yang mengejar kita” berkata Temon.

“Ya. Agaknya mereka pun tidak berani keluar dari batas dinding rumahnya “

“Kenapa?”

“Agaknya mereka tidak ingin terlibat dalam Kesalah-pahaman dengan anak-anak muda Gemulung”

Temon mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi kita harus cepat menyingkir”

“Ya. Kita harus cepat menyingkir”

Keduanya pun kemudian berlari-lari kecil sambil terbungkuk-bungkuk di sela-sela dedaunan yang rimbun di kebun-kebun yang tidak terpelihara. Namun Sura Sapi semakin lama menjadi semakin lemah. Darahnya masih saja mengalir meskipun tidak begitu deras, dari luka-lukanya, terutama luka di lengannya.

“Marilah” ajak Temon.

“Napasku” desis Sura Sapi, “badanku menjadi sangat lemah. Darahku masih saja mengalir”

Temon pun kemudian mendekati adiknya. Dibantunya Sura Sapi berjalan tertatih-tatih. Kemudian mereka pun dengan hati-hati mendekati dinding padukuhan dan setelah mereka merasa aman, maka dengan susah payah Sura Sapi pun segera meloncat dibantu oleh kakaknya.

Malam yang gelap masih juga. terasa gelap, meskipun bintang-bintang di langit bertebaran dari ujung sampai ke ujung.

Keenam orang dari gerombolan Sura Sapi termasuk Temon, berjalan tersuruk-suruk menjauhi padukuhan Gemulung.

“Lain kali kita bakar padukuhan terkutuk itu” geram Sura Sapi.

“Ya, kita jadikan neraka” desis yang lain. Mereka pun kemudian meneruskan langkah mereka menyusur pematang. Beberapa orang dari mereka berjalan dengan timpang karena kaki-kaki mereka terkilir. Tetapi Sura Sapi sendiri menjadi semakin lemah, meskipun ia masih mampu berjalan dibantu oleh kakaknya.

“Dua kali kita gagal di neraka terkutuk itu” gumam Sura Sapi, “tetapi lain kali kita pasti akan berhasil”

“Apa yang akan kau lakukan lain kali?”

“Membakar padukuhan itu menjadi karang abang. Kemudian merampok rumah pedagang yang kikir itu habis-habisan dan membunuh seisi rumahnya”

Temon tidak menjawab. Ia sadar, bahwa kata-kata itu terlontar oleh kekecewaan yang sangat mencengkam dada Sura Sapi.

Sejenak kemudian mereka pun terdiam. Mereka berjalan tertatih-tatih semakin lama semakin jauh dari Gemulung, dengan luka-luka tidak saja pada tubuh mereka, tetapi juga di hati.

Sementara itu Manguri yang hampir kehabisan nafas masih sempat membentak-bentak Lamat yang berdiri termangu-mangu, “Kenapa kau biarkan mereka lari, he? Kenapa kau tidak mengejar mereka dan menangkap meskipun hanya satu atau dua orang?“

Lamat tidak menjawab. Sekilas dipandanginya Ki Sukerta, dan sekilas kemudian pengawal ternak yang berdiri diam membeku.

“Kau pun tidak berbuat apa-apa” bentak Manguri kepada pengawal itu.

Pengawal itupun tidak segera menjawab.

“Semua orang di rumah ini sudah gila. Sekian banyak orang berkeliaran tidak menentu. Apa yang kalian kerjakan? Kalian membiarkan demit-demit itu melarikan dirinya. Kalau kalian berhasil menangkap atau membunuh mereka, aku akan menyembelih tiga ekor sapi. Tidak, tidak hanya tiga ekor. Dua ekor untuk setiap orang yang tertangkap“

Tidak seorang pun yang menjawab. Dan kemarahan Manguri menjadi semakin melonjak-lonjak. Wadah kemarahannya terutama adalah Lamat. Katanya, “Kau pemalas. Kau ingin segera tidur saja. Kau sama sekali tidak berusaha untuk memenangkan perkelahian. Kau yang sebesar gajah itu sama. sekali tidak berdaya menghadapi hanya tiga orang lawan. Dan yang tiga itu tidak termasuk pemimpinnya”

Lamat menundukkan kepalanya. Ia sudah terlalu biasa diumpat-umpat dengan kata-kata yang bagaimanapun menyakitkan, hati. Karena itu justru ia menjadi kebal.

“Sudahlah Manguri“ ayahnya mencoba menahannya, “untung sekali kau masih dapat melihat matahari terbit esok pagi. Sekarang biarlah mereka beristirahat. Orang yang terluka itu harus segera mendapat pertolongan”

“Tetapi itu terlalu sekali” geramnya, “seharusnya Lamat dapat berbuat sesuatu. Dengan keadaan ini kita masih selalu harus berjaga-jaga. Mereka pasti masih akan menuntut penyelesaian yang memberi kepuasan kepada mereka”

“Tetapi kita sudah dapat menduga sebelumnya, sehingga kita akan dapat berjaga-jaga” sahut ayahnya.

“Mereka, Sura Sapi dan gerombolannya itu, terlampau buas. Mereka dapat membawa kawan-kawan mereka berdatangan ke rumah ini, sedangkan kami tidak akan dapat mengharapkan orang-orang Gemulung yang gila itu”

“Aku dapat memanggil para pengawal ternak yang biasa membantu aku dalam perjalanan. Mereka pun orang-orang yang dapat dipercaya. Tidak kalah dari orang-orang gerombolan Sura Sapi”

 “Tetapi jumlah itu sangat terbatas”

“Aku kira cukup banyak. Aku mempunyai lima orang pengawal”

“Hanya lima”

“Disini ada kau, ada aku dan Lamat serta seorang pengawal lagi”

“Tetapi gerombolan Sura Sapi adalah gerombolan yang paling gila dan liar. Mereka dapat berbuat apa saja melampaui setan yang paling jahat”

“Sudahlah, jangan ribut“ kemudian kepada Lamat Ki Sukerta berkata, “rawatlah orang yang terluka itu”

Lamat tidak menjawab. Sambil memegang tombaknya di tangan kiri ia memapah orang yang terluka itu dan dibawanya turun dari pendapa.

“Ingat pemalas” teriak Manguri, “kaulah sumber kegagalan kita menangkap orang-orang itu. Kalau sekali lagi kau ulangi, maka kau akan menyesal seumur hidupmu”

“Manguri” potong ayahnya, “jangan menjadi gila karena kegagalan kita kali ini. Sebenarnya kita sama sekali tidak gagal. Kita sudah berhasil mempertahankan diri dan hak milik kita”

“Tetapi masalahnya belum selesai ayah”

“Katakan, siapakah yang telah membuka masalah ini. Siapakah yang dengan dungunya menghubungi Sura Sapi untuk keperluan yang gila itu pula. Siapa?“

Manguri tidak menjawab.

“Kau. Kaulah yang bersalah. Kaulah sumber dari kekalutan yang telah terjadi di rumah ini. Sekarang kau membentak bentak seperti orang mabuk tuak”

Manguri mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab, karena ia sadar, bahwa ayahnya sudah mulai marah lagi kepadanya.

“Masuklah” berkata ayahnya, “jangan ribut lagi”

Dengan kepala tunduk Manguri pun kemudian berjalan masuk ke pringgitan. Ketika ia masuk ke ruang dalam dilihatnya ibunya menggigil ketakutan. Begitu Manguri muncul di pintu, maka dengan serta merta dipeluknya anaknya yang sudah sebesar ayahnya itu sambil menangis, “Kau tidak apa-apa Manguri”

Manguri menggelengkan kepalanya, “Tidak ibu, aku tidak apa-apa”

“Nah, jadilah pelajaran bagimu, Manguri. Untuk seterusnya kau jangan bermain api”

“Bukankah hal itu sudah sewajarnya? Aku seorang anak laki-laki ibu. Aku memang sudah seharusnya berusaha untuk mendapatkan seorang gadis yang aku cintai”

“Tetapi kau dapat mencari gadis yang lain, yang tidak usah menumbuhkan banyak persoalan seperti gadis anak janda prajurit itu”

“Aku mencintainya ibu”

“Anakku. Kau harus dapat mempertimbangkan perasaanmu. Betapa besar cintamu kepadanya, tetapi hal itu dapat membahayakan nyawamu, bahwa berbahaya bagi seluruh keluarga”

“Sudahlah bu” berkata Manguri sambil melepaskan pelukan ibunya, “ibu tidak usah mencemaskan aku”

“Tidak mungkin Manguri, karena kau adalah anakku”

“Ibu akan menyakiti perasaan ibu sendiri. Aku sudah bertekad untuk mendapatkannya dengan segala cara”

“Jangan Manguri. Berkatalah, gadis mana yang kau cintai, selain gadis yang sudah jelas menolakmu itu. Aku akan melamarnya untukmu”

“Aku tidak mencintai gadis lain lagi, kecuali gadis itu”

“Tidak. Aku tidak menyetujui kau berhubungan lagi dengan Sindangsari”

“Ibu“ Manguri membelalakkan matanya, “kenapa tiba-tiba ibu bersikap demikian”

“Ibu tidak senang melihat hubungan yang selalu mendebarkan jantung. Apakah kau akan merasa bahagia kelak, apabila kau selalu diganggu oleh kegelisahan dan kecemasan. Apalagi isterimu itu tidak mencintaimu”

“Ibu, aku kadang-kadang merasa bahwa semakin sulit aku berusaha mendapatkan seorang gadis, aku merasa bahwa aku kelak akan menjadi semakin berbahagia, apabila aku berhasil”

“O, jalan pikiranmu sudah terbalik”

“Bukankah cinta yang berliku-liku itu justru memberikan kepuasan yang mendalam”

“Tidak. Kau keliru”

“Ibu“ Manguri tiba-tiba berbisik, “ibu jangan melarang aku. Sebenarnya aku tidak sejahat ini, karena aku harus memeras ibuku sendiri. Tidak. Tetapi aku hanya ingin membuktikan, bahwa kadang-kadang kita memang ingin hidup di dalam dunia yang lain dari kewajaran hidup ini. Coba katakan, apakah yang ibu dapat dari hubungan yang berbelit-belit antara ibu dengan laki-lakì itu?“

“Manguri“ ibunya hampir berteriak, “kau sudah gila”

“Maaf ibu, aku hanya sekedar memberikan contoh, betapa di dalam hidup ini kita memerlukan kelainan-kelainan yang kadang-kadang tidak masuk akal. Maaf bahwa contoh yang paling mudah aku dapat kali ini adalah kehidupan ibu sendiri. Hubungan itu menurut pendapatku adalah terlampau mengerikan. Tetapi ibu melakukannya juga. Apakah dapat dinikmati suatu kebahagiaan dalam ujud apapun, apabila setiap kali ibu selalu diburu oleh kegelisahan kecemasan dan ketakutan?“

“Diam, diam kau Manguri”

“Jangan berteriak ibu. Aku sudah berbisik-bisik supaya tidak ada orang lain yang mendengar. Tetapi ibu justru berteriak-teriak seperti itu”

”Kau menghina ibumu sendiri Manguri. Kau menyakiti hatiku”

“Bukan maksudku. Karena itu aku minta maaf. Tetapi dengan demikian, maka ibu akan dapat mengerti, bahwa aku kali ini berbuat sesuatu yang aneh yang tidak patut atau katakanlah, sangat berbahaya menurut penilaian orang lain. Tetapi aku justru ingin melakukannya karena dorongan yang tidak aku mengerti”

“O” tiba-tiba ibunya berlari ke biliknya. Dijatuhkannya tubuhnya di pembaringannya.

Yang terdengar kemudian adalah isak tangisnya, sambil menelungkupkan wajahnya pada kedua tangannya yang bersilang.

Dengan dada yang berdebar-debar Manguri melihat ibunya menangis. Perlahan-lahan ia mendekatinya dan duduk di bibir pembaringan itu.

“Aku minta maaf bu” Ibunya tidak menyahut.

“Aku minta maaf. Sudah aku katakan bahwa aku tidak ingin menyakiti hati ibu”

Ibunya mengangkat wajahnya. Kemudian terdengar suaranya parau di sela-sela isak tangisnya, “Inikah hukuman yang harus aku tanggungkan karena dosa itu?“

“Tidak ibu. Bukan”

“Aku memang penuh dengan dosa Manguri. Tetapi ternyata kau memang benar. Kadang-kadang kita menginginkan sesuatu yang tidak pantas, yang tidak patut. Bahkan yang berbahaya sekalipun. Tetapi aku tidak dapat menghentikannya. Setiap kali hal itu terjadi, aku merasa bahwa untuk seterusnya aku tidak akan mengulanginya lagi. Bahkan aku merasa sangat membencinya. Tetapi apabila aku merasa kesepian, dan laki-laki itu menampakkan dirinya, aku terdorong lagi ke dalam dosa itu”

“Sudahlah ibu. Tidak pantas hal itu disesali. Kalau hal itu memang terjadi, marilah kita nikmati sepuas-puas hati. Bukankah hal itu memang terjadi dan tidak dapat kita elakkan lagi”

“O, inilah. Inilah kutukan itu, Aku memang sudah memberikan contoh kepadamu, untuk terjun ke dalam neraka yang paling jahanam. Dan kau agaknya memang mengikuti jejak itu. Jejakku dan jejak ayahmu”

Manguri menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia tersenyum di dalam hatinya. Kini ia benar-benar merasa hidup di dalam kubangan yang paling kotor. Ia tidak akan dapat membersihkan dirinya selama ia masih tetap berada di kubangan itu. Seribu kali ia mandi sehari, maka ia akan segera dilumuri oleh noda-noda yang paling kotor itu kembali.

Tetapi Manguri tidak mengatakannya. Ia bangkit berdiri dan berkata kepada ibunya, “Ayah berada di luar. Mungkin ayah sedang mengurusi orang-orang yang kebingungan di halaman. Atau barangkali ikut menolong orang yang terluka itu. Aku akan pergi keluar juga”

Ibunya menganggukkan kepalanya. Dengan ujung bajunya ia mengusap air mata yang masih membasahi matanya.

“Hati-hatilah”

“Ya ibu”

Manguri pun kemudian melangkah keluar bilik. Ditutupnya pintu bilik itu. Sekilas ia masih melihat ibunya berbaring. Ibunya yang nampaknya masih sangat muda.

Ketika ia melangkah untuk kembali ke pendapa, maka sekilas ia teringat kepada gadis-gadis yang pernah mengguratkan namanya pada dinding jantungnya.

Manguri tersenyum di dalam hati, meskipun senyum yang pahit.

bersambung ke bagian 2

Satu Tanggapan

  1. Bonus

    HARI IBU 22 Desember 2013

    rontal maju sehari dari jadwal seharusnya

    monggo

Tinggalkan komentar